ads by google 3

Multiple Sclerosis

Penyebab Kecacatan di Usia Produktif

Multiple sclerosis (MS) memang tak populer. Ia kalah kesohor dibanding kanker, stroke, atau diabetes. Padahal, MS adalah penyakit serius yang berlangsung seumur hidup dan berpotensi menimbulkan kecacatan pada penderitanya. Celakanya, MS biasanya menyerang orang-orang di usia produktif (20-40 tahun) yang tengah berada pada puncak-puncak terpenting kehidupan.

Secara medis, MS adalah penyakit pada sistem syaraf pusat yang berpengaruh pada otak dan sum-sum tulang belakang. Penyakit ini juga memengaruhi kemampuan otak dan sum-sum tulang belakang untuk mengendalikan berbagai fungsi seperti melihat, berjalan, atau berbicara. Disebut sclerosis karena penyakit ini menimbulkan suatu jaringan yang mirip jaringan parut (scleros) di tempat-tempat tertentu pada otak serta sum-sum tulang belakang. Disebut juga multiple karena penyakit ini menyerang beberapa tempat di otak dan sum-sum tulang belakang.

Penyakit ini bisa membuat penderitanya lumpuh total, hidup di kursi roda, bahkan buta. Statistik menyebutkan, satu di antara tiga penderita MS akan menggunakan tongkat atau alat bantu lainnya selama sisa hidup mereka. Hingga kini belum diketahui secara pasti jumlah penderita MS. Namun, penyakit ini diperkirakan telah menyerang lebih dari 2,5 juta penduduk di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sebagian di antaranya berada di Asia, termasuk di Indonesia. Komedian Ferrasta Soebardi yang akrab dipanggil Pepeng adalah salah satu penderita penyakit ini.

Gejala penyakit ini sangat beragam. Bisa ringan, bisa pula berat, dan dapat timbul secara tak terduga. Bahkan gejala awal MS bisa saja hilang dengan sendirinya tanpa diobati. Namun seiring berjalannya waktu, gejala itu bertambah berat. Seperti dijelaskan Prof Dr Jusuf Misbach SpS(K) FAAN, ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (PERDOSSI), gejala awal MS dapat berupa perasaan lelah yang berlebihan, kesulitan dalam penglihatan, kesulitan berjalan karena kaki terasa lemas, perasaan kesemutan pada wajah, lengan, kaki, dan mati rasa pada sekitar kening dan tulang belakang, serta beberapa gejala lainnya. ''Gejala-gejala itu bisa bervariasi bergantung dari sistem syaraf yang terkena,'' kata dokter dari Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta ini.

Penyebab MS
Sejauh ini, penyebab MS memang belum bisa dipastikan. Namun, banyak ilmuwan sependapat bahwa terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam memunculkan MS yakni virus, geografis, dan genetik.

Virus-virus tertentu, menurut para ahli, dapat menghancurkan selaput myelin (insulasi pelindung yang mengelilingi serabut syaraf dalam sistem syaraf pusat) pada binatang dan manusia. Hancurnya selaput myelin ini akan mengganggu komunikasi syaraf antara otak, tulang belakang, dan syaraf mata yang akhirnya menimbulkan gejala-gejala MS. Namun hal ini baru sebatas dugaan. Sejauh ini belum ada bukti yang jelas tentang keterkaitan virus tertentu dengan penyakit ini.

Sementara itu secara geografis, MS lebih kerap menyerang mereka yang tinggal di kawasan-kawasan yang jauh dari garis ekuator dibanding orang-orang yang tinggal di wilayah yang dekat dengan garis ekuator.

Kemudian secara genetik, sekalipun MS tidak secara langsung menurun dari orang tua kepada anaknya, namun terdapat risiko seumur hidup dari seorang anak yang orang tuanya menderita MS. Dalam hal ini, terdapat kemungkinan sebesar dua persen bagi seorang anak untuk menderita MS jika orang tuanya menderita penyakit ini.

Yang juga patut dicatat, saat ini MS digolongkan sebagai penyakit otoimun, yakni penyakit yang muncul lantaran sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan sehingga justru menyerang sel-sel tubuh yang sehat. Dan dibanding pria, kaum wanita terhitung lebih kerap menderita penyakit ini.

Pengobatan
Sayang sekali, hingga saat ini belum ditemukan pengobatan yang bersifat menyembuhkan MS. Yang bisa dilakukan adalah upaya diagnosis dini dan terapi pengobatan berkesinambungan guna memperlambat proses pemburukan penyakit ini.

Terapi MS, menurut Jusuf Misbach, terbagi menjadi dua kategori. Pertama, pengobatan jangka pendek untuk mengatasi gejala kekambuhan. Dalam hal ini, biasanya pasien akan diberikan steroid. Kedua, pengobatan modifikasi untuk membantu menurunkan jangka waktu serangan gejala. Terapi ini sekaligus untuk menurunkan akumulasi kecacatan. Menurut Jusuf Misbach, terapi modifikasi perlu dilakukan sedini mungkin dan berkesinambungan agar perkembangan penyakit bisa ditekan.

Jusuf juga menekankan pentingnya mengenali gejala-gejala awal penyakit. ''Dengan mengenali gejala lebih awal, maka terapi pun bisa dilakukan sejak dini.''

Terkait dengan pengobatan MS, sejumlah ahli telah menggelar penelitian -- yang diberi nama studi Benefit -- mengenai khasiat interferon beta-1b untuk para penderita MS. Hasilnya ternyata positif. Penggunaan interferon beta-1b terbukti mampu mengurangi gejala-gejala MS secara signifikan serta menghambat perkembangan penyakit.

(bur )
republika.co.id

gugad1