ads by google 3

Buah dan Sayur vs 'Stroke'

LAKSANA bayi, Kodrat, 53 tahun, harus belajar bangkit dari pembaringan dan mencoba untuk duduk. Meski kelihatan sepele bagi orang yang sehat, aktivitas tersebut bagaikan siksaan bagi Kodrat. Bagaimana tidak. Untuk bisa bangun, bapak empat anak itu mesti dibantu oleh terapis. Di kesempatan lain, ia mesti berlatih sendiri dengan cara "menjejakkan" siku tangan kirinya ke tempat tidur untuk menopang berat tubuhnya, sehingga bisa duduk. Semua itu tidak gampang dilakukan, "Karena tangan dan kaki kanan saya sampai sekarang masih lemas," ujarnya saat ditemui TEMPO di Unit Perawatan Khusus Stroke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), pekan lalu.

Awal kehadiran stroke dirasakan Kodrat dua pekan lalu. Tiba-tiba mata penderita tekanan darah tinggi dan perokok berat itu berkunang-kunang. Serentak dengan itu, kaki dan tangan kanannya lemas dan bicaranya cadel. Ia tidak tahu gejala apa yang menyerangnya. Kodrat pun meminta agar tangan dan kakinya dipijat. Tapi, kondisi fisiknya tidak bertambah baik. Setelah menghubungi atasannya, baru jelas bahwa dirinya terserang stroke. Ia pun secepatnya dilarikan ke rumah sakit.

Ketidaktahuan akan gejala stroke—gangguan fungsi otak yang disebabkan oleh adanya ketidaknormalan peredaran darah di otak, seperti dialami Kodrat—sudah merupakan gejala yang umum di Asia. Hasil penelitian yang dilakukan ASEAN Neurological Association di ketujuh negara anggotanya memperkuat dugaan itu. Sebanyak 50 persen penderita terlambat masuk rumah sakit karena ketidaktahuan mereka tentang gejala stroke.

Ketidaktahuan itu mencemaskan, apalagi bila dikaitkan dengan kecenderungan meningkatnya penyakit ini. Pada 1974, di RSCM diperkirakan hanya ada 700 pasien stroke per tahun. Tapi, jumlah itu membengkak dan mencapai angka 1.100-1.300 kasus per tahun hingga tahun 2000. Itu berarti setiap hari ada 3-4 pasien baru yang masuk rumah sakit karena stroke. Menurut dokter spesialis saraf Sitti Airiza Ahmad, yang juga Kepala Bagian Stroke RSCM, pasien yang datang rata-rata berusia 55 tahun. "Itu jauh lebih muda dibandingkan dengan pasien di luar negeri, yang rata-rata terkena stroke di usia 75 tahun," tuturnya.

Peningkatan yang sama terjadi di Rumah Sakit Husada, Jakarta, selama lima tahun terakhir. Dalam sehari, paling tidak ada satu pasien stroke yang menjalani pemeriksaan di bagian radiologi. Malah, penyakit itu menyerang kalangan lebih muda, yang berumur 30-40 tahun. Tak berlebihan kalau disebut bahwa stroke bukan lagi monopoli kaum usia lanjut alias manula.

Meningkatnya jumlah penderita stroke tak lepas dari pengaruh urbanisasi, perubahan gaya hidup perkotaan yang rentan stres, dan meningkatnya usia harapan hidup masyarakat. Di negeri ini, usia harapan hidup memang terus meningkat. Pada 1980, usia harapan hidup wanita adalah 54 tahun, dan pria 50,9 tahun. Tapi, pada 1995, terjadi peningkatan hingga mencapai 66,7 tahun untuk wanita, dan 62,9 tahun untuk pria.

Meski serangan stroke tidak bisa diprediksi, kini diketahui bahwa kalangan tertentu memang berisiko tinggi terserang penyakit ini. Wajarlah mereka ekstrawaspada, terutama yang mengidap tekanan darah tinggi. Di luar itu, juga mereka yang berat badannya berlebih, para perokok, dan pengidap diabetes melitus. Belakangan, ditengarai bahwa makanan yang banyak mengandung lemak bisa menyebabkan stroke—berarti tidak lagi sekadar menyebabkan serangan jantung.

Sebenarnya, agar stroke tidak terlambat ditangani, ada gejala-gejala awal yang patut diwaspadai, yang sering juga disebut serangan otak selintas. Gejala ini berlangsung kurang dari 24 jam, misalnya mendadak terjadi kesemutan separuh badan secara bersamaan, tubuh lumpuh separuh, telinga berdenging terus separuh, hilang kesadaran, atau mendadak bicara jadi susah karena gerak lidah tidak benar. Jika ada gejala seperti itu, tidak usah menunggu apakah akan berlangsung kurang dari 24 jam atau lebih. Yang penting, penderita harus segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas penanganan stroke. "Malah, kalau bisa, usahakan ia dibawa ke rumah sakit sebelum tiga jam dari serangan," Airiza menambahkan.

Yang patut diperhatikan, jika terjadi serangan stroke, usahakan agar pasien rileks dan tidak panik. Aturlah agar ia tidur dengan kepala diangkat setinggi 30 derajat—misalnya diganjal dengan bantal. Terkecuali kalau pasien tidak sadar atau kelihatan mau muntah, ia mesti ditidurkan miring ke arah kiri agar muntahnya keluar. Sangat bagus kalau pasien kemudian dibantu dengan tambahan oksigen. Maklum, gejala kekurangan darah memang selalu menyebabkan kekurangan oksigen. Jadi, sangat baik kalau rumah tangga atau kantor selalu menyediakan tabung oksigen.

Sementara ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menolong pasien stroke, ada satu hal yang tidak boleh dilakukan, yakni memberi minum. Dulu memang ada anggapan bahwa karena pasien bisa menelan, tak masalah kalau ia diberi minum. Cuma, yang tidak pernah bisa dilihat adalah apakah air minum seluruhnya masuk ke lambung ataukah ada yang masuk ke paru-paru. Jika yang terakhir terjadi, pada hari kedua dirawat, pasien bisa mengalami infeksi paru-paru. Nah, jika pasien meninggal, sebabnya lebih karena infeksi paru-paru, bukan karena stroke itu sendiri.

Jika pasien bisa dibawa ke rumah sakit sebelum tiga jam—meski dalam praktek tidak gampang diwujudkan karena faktor transportasi atau rendahnya kesadaran masyarakat terhadap gejala awal stroke—dokter bisa menangani gangguan peredaran darah ke otak secepatnya. Kalau terjadi penyumbatan, misalnya, pembuluh darah bisa segera dibuka sehingga alirannya bisa lancar kembali. Di samping itu, dokter juga bisa memberikan pengobatan dan terapi secara lebih dini.

Gerak cepat itu mesti dilakukan agar gejalanya tidak berlanjut dan menimbulkan kerusakan (infarct) sel otak, yang bisa menimbulkan komplikasi lebih berat. Apalagi, di beberapa rumah sakit, khususnya di Jakarta, sudah tersedia fasilitas mutakhir, yakni MRI (magnetic resonance imaging) 1,5 Tesla. Alat setinggi hampir dua meter ini mampu mendeteksi stroke yang masih dalam fase sangat dini. Dengan kemampuan tersebut, wajar bahwa untuk sekali penggunaan MRI, pasien harus membayar lebih mahal, yakni sekitar Rp 1,25 juta. Bandingkan dengan CT Scan, yang biasanya hanya bisa mendeteksi stroke yang sudah menimbulkan tanda infarct. Keuntungan lain, "Dengan MRI tidak sampai 10 menit, hasilnya sudah bisa diketahui," ujar Patricia M. Widjaja, ahli radiologi Rumah Sakit Husada, Jakarta. Kunci menangkal stroke memang cuma satu: harus cepat agar selamat.



tempo.co.id

gugad1