ads by google 3

Kiblat Baru Senjata Antikanker

Victoria Reiter kembali menemukan harapannya untuk meniti hidup. Harapan itu hampir pudar ditelan kanker darah mematikan, leukemia myeloid, yang dideritanya. Hampir sepanjang tahun 1999, penulis yang hidup di Manhattan, New York, Amerika Serikat ini menghabiskan waktu dengan berbaring di tempat tidur. Terapi kimia telah membuat tubuh perempuan 63 tahun ini kian lemah.

Awal tahun 2000, Reiter nekat mencoba obat imatinib mesylate dengan nama pasar Gleevec yang masih berstatus uji klinis. Obat ini berfungsi memblokir sinyal saraf yang memerintahkan sel kanker terus berbiak. Hasilnya cukup nyata. "Energi kembali datang. Saya bisa berjalan lagi dan sanggup kembali tekun membaca," tutur Reiter kepada majalah Time, edisi 21 Mei 2001. Setelah enam bulan mengonsumsi Gleevec, Agustus 2000, pemeriksaan terhadap sumsum tulang belakangnya membuktikan sel-sel leukemia Reiter sudah jauh berkurang.

Selamat datang obat baru. Pengobatan kanker agaknya telah memasuki babak baru yang cukup menjanjikan. Sehebat apakah obat kanker generasi baru yang dikonsumsi Reiter? Sebetulnya, imatinib mesylate, dan juga beberapa obat kanker mutakhir, telah mencuri perhatian kalangan medis dalam beberapa tahun terakhir. Dan ini dia hebatnya: "Kekuatan obat ini terpusat pada senyawa yang khusus bereaksi pada protein atau enzim kanker," kata Larry Norton, Ketua Masyarakat Ahli Kanker Klinis Amerika Serikat. Obat jenis rituksimab, misalnya, khusus menghancurkan sel kanker limfa Non-Hodgkin's. Sedangkan obat yang lain, jenis trastuzumab, diketahui bekerja spesifik memblokir enzim pertumbuhan sel kanker payudara.

Nah, karena sasarannya spesifik, obat kanker mutakhir tidak mengusik sel-sel yang sehat. Tentu saja ini kabar menyenangkan. Sebab, selama ini pengobatan kanker--dengan kemoterapi ataupun radioterapi--berprinsip sapu bersih. Baik sel kanker maupun sel yang sehat walafiat sama-sama dibombardir. Akibatnya, terapi kanker lazim disusul dampak negatif seperti selera makan lenyap, stamina turun drastis, rambut rontok hebat, dan bobot tubuh anjlok.

Obat-obatan baru untuk memberantas sel kanker, meski sejauh ini memberi hasil yang tampaknya lebih baik ketimbang obat lama, masih banyak dipertanyakan. Dari pihak produsennya sendiri, tak satu pun yang berani mengklaim obat mereka mampu menuntaskan habis sel-sel kanker. Juga, tak ada jaminan obat kanker mutakhir tidak memunculkan dampak negatif dalam jangka panjang. Belum pula diketahui berapa lama konsumsi obat yang efektif supaya sel kanker tidak berbiak kembali.

Genentech Inc., produsen Herceptin (jenis trastuzumab), misalnya, malah tegas mengakui bahwa obatnya tidak menyembuhkan pasien. Herceptin--resmi beredar pada 1998--tak sanggup mengubah iklim biologis yang membuat tubuh bisa menghentikan sama sekali pembelahan sel kanker payudara. "Obat kami hanya berpeluang meningkatkan kualitas hidup pasien kanker," kata Lorry Goldstein, periset Pusat Kanker Fox Chase yang juga meneliti obat Herceptin.

Toh, kelemahan obat generasi baru tak menyurutkan niat pasien. Mereka yang hampir putus asa memerangi kanker tak peduli dengan harga tinggi yang dipatok produsen. Penjualan Herceptin, US$ 700 untuk dosis seminggu dan dianjurkan digunakan selama 36 minggu, misalnya, sukses mendongkrak laba Genentech sampai 35 persen pada tahun 2000.

Obat yang masih dalam tahap uji coba pun laris menggaet respons. Uji klinis Gleevec, misalnya, langsung disambut 1.027 pasien leukemia myeloid. Walhasil, uji klinis obat ini rampung dalam setahun--rekor dalam sejarah yang dicatat Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA). Akhirnya, 10 Mei lalu, FDA resmi mengizinkan peredaran Gleevec dengan harga US$ 2.400 untuk dosis sebulan. Artinya, pasien harus menguras US$ 28.800 untuk pengobatan setahun. Bisa dihitung berapa duit yang harus tersedia bila pasien leukemia kronis minimal membutuhkan Gleevec selama tiga tahun.

Tentu saja, mahalnya obat kanker merupakan kendala serius bagi pasien di negara berkembang. Karena itu, tidak mengherankan bila sebagian pasien lebih suka memanfaatkan tanaman antikanker seperti kunyit putih, daun sambiloto dan keladi tikus, seperti yang diterapkan Klinik Herbal Karyasari, Jakarta (TEMPO, 29 April 2001).

Dan pendekatan itu bukannya sama sekali tidak berguna. Kubu penganut tanaman obat bahkan mulai mendapat dukungan para peneliti di negara maju. Tim ilmuwan Cancer Research Campaign (CRC), London, Inggris, misalnya, berhasil mengungkapkan rahasia tanaman antikanker. Profesor Peter Wardman, ahli kanker CRC, berhasil mendeteksi senyawa aktif yang berperan melawan kanker, yakni hormon tanaman indole acetic acid (IAA). Hormon yang masuk kelompok auksin ini--terdapat pada daun, bunga, buah, dan tunasi--"tugas asli" -nya adalah mengoptimalkan sinar matahari dalam proses fotosintesis.

Kemudian, kemampuan hormon IAA diuji melalui tes laboratorium. Ternyata, IAA sangat pintar mengenali dan melawan sel kanker. "Kadar akurasinya memilah sel sakit dan sehat sampai 99,9 persen," kata Wardman seperti dikutip BBC Health, dua pekan lalu. Merujuk temuan ini, Wardman yakin hormon IAA berpeluang menjadi inti obat kanker masa depan. Obat berbahan tanaman ini diharapkan bisa terjangkau kantong masyarakat banyak.



tempo.co.id

gugad1