ads by google 3

Menggugat Larangan Aborsi

Di Indonesia, setiap tahun sedikitnya 2,1 juta calon bayi digugurkan. Karena aborsi dilarang undang-undang, bermunculan tempat praktek aborsi yang banyak merenggut nyawa ibu. Saatnya aborsi aman dilegalkan?


TAMPAKNYA ada yang istimewa di sebuah klinik kandungan di kawasan Cikini, Jakarta Pusat itu. Rabu pekan lalu, klinik itu terlihat ramai. Sekitar 15 wanita muda tampak duduk berjejer di kursi ruang tunggu. Sembari menunggu dokter--sebut saja dr. Richardo--yang lama ditunggu tapi belum juga datang, beberapa pasien membunuh waktu dengan mengobrol atau memeloloti film India yang pagi itu ditayangkan salah satu stasiun TV swasta.

"Saya ke sini untuk kontrol," ujar Mariani (bukan nama sebenarnya), 32 tahun, saat ditemui TEMPO. Ini bukan kedatangannya yang pertama. Setahun lampau, ibu dua anak itu pernah mendatangi dr. Richardo. "Ketika itu, saya telat tiga hari dari tanggal menstruasi. Dan hasil tes menunjukkan saya positif hamil," katanya. Setelah sempat kebingungan memilih meneruskan atau menggugurkan kehamilan, akhirnya ia dan suaminya memutuskan untuk mengakhirinya saja. "Takut dosa, sih, iya. Tapi mau bagaimana lagi? Sekarang ini punya anak butuh biaya mahal," ujar Mariani.

Proses aborsi berlangsung mudah dan cepat. Ia hanya mendapat suntikan yang membuatnya tak sadarkan diri. Begitu ia siuman, Dokter menyatakan aborsi sudah selesai. Agaknya, kemudahan seperti inilah yang membuat klinik Pak Dokter istimewa sehingga banyak dikunjungi pasien. Biaya untuk aborsi pun cukup terjangkau. Mariani, misalnya, mengaku membayar sekitar Rp 800 ribu untuk obat-obatan dan jasa aborsi.

Pengalaman Mariani itu hanyalah satu dari jutaan kisah aborsi terhadap kehamilan yang tak dikehendaki di negeri ini. Prof. Biran Affandi dari Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dalam "Pertemuan Koordinasi Ke-23 Kesehatan Reproduksi/Safe Motherhood" di Jakarta, dua pekan lalu, mengungkapkan bahwa setiap tahun diperkirakan ada 3,5 juta kehamilan tak dikehendaki di Indonesia. Kasus itu muncul dari 4,5 juta pasangan suami-istri yang tidak memiliki alat kontrasepsi atau akibat kegagalan dan salah penggunaan alat kontrasepsi. Dari jumlah itu, diperkirakan ada 60 persen yang digugurkan. Bayangkan, setiap tahun sekitar 2,1 juta calon makhluk tidak diberi kesempatan hidup.

Angka sebesar itu belum termasuk dari kalangan remaja wanita. Diyakini, dari sekitar 42 juta remaja wanita, pasti ada yang hamil di luar pernikahan. Cuma, kata Biran, "Kita kan belum pernah menghitungnya. Jadi, angka aborsi tersebut merupakan perkiraan minimal."

Padahal, aborsi semestinya bukan sesuatu yang mudah dilakukan di republik ini. Undang-Undang Kesehatan Tahun 1992 melarangnya. Aborsi hanya boleh dilakukan karena alasan-alasan medis. Di luar itu, pengguguran tidak boleh dilakukan, dengan alasan apa pun.

Ada permintaan aborsi tinggi, ada undang-undang yang melarangnya. Yang terjadi kemudian adalah munculnya tempat-tempat praktek aborsi ilegal. Yang lebih gawat, penyedia jasa bukan hanya dokter atau bidan yang punya keahlian memadai untuk itu. Para dukun pun tak ketinggalan melakukan aborsi dengan teknik dan peralatan seadanya. Menurut data kasus aborsi di Indonesia yang dikumpulkan sebuah lembaga penelitian tentang keluarga berencana di New York, Amerika Serikat, dukun tradisional melakukan aborsi sebagian besar dengan pemijatan (79 persen). Sisanya menggunakan jamu (33 persen), alat lain (17 persen), dan obat (8 persen).

Praktek aborsi ilegal, terutama yang dilakukan sendiri atau oleh dukun tradisional, jelas mengandung risiko besar bagi keselamatan ibu. Salah-salah, nyawa menjadi taruhan. "Aborsi tidak aman memberikan kontribusi 10-20 persen angka kematian ibu di Indonesia," ujar Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Prof Azrul Azwar. Angka kematian Indonesia sendiri saat ini masih tergolong tinggi, 373 per 100 ribu kelahiran.

Lalu, bagaimana? Dalam beberapa seminar tentang aborsi, mulai bermunculan usul untuk menghapuskan praktek aborsi gelap dengan melegalkan aborsi yang aman, yang dilakukan oleh ahli yang terlatih dan kompeten. "Aborsi yang aman memang sudah merupakan suatu kebutuhan," kata Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Gulardi Wignjosastro.

Hanya, jika aborsi aman jadi diwujudkan, sejumlah aturan dan kriteria yang ketat mesti segera dibuat. Semua itu diperlukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan profesi kedokteran. Bukan apa-apa, aborsi menjanjikan kemudahan mendapatkan fulus, yang bisa saja membuat dokter lepas kontrol menerjang etika profesi.

Untuk mencegah hal-hal semacam itu, Dr. Agus Purwadianto, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta, mengusulkan pembentukan dewan sensor yang berwenang memutuskan boleh-tidaknya suatu aborsi dilakukan. Dewan ini beranggotakan sejumlah orang dengan latar belakang beragam, seperti ahli pemerintahan, hukum, dan etika, budayawan, serta psikolog. Sedangkan dokter tidak usah masuk menjadi anggota, tapi cukup menjadi tenaga profesional pelaksana aborsi. Keberadaan dewan itu penting, "Karena dokter bukanlah satu-satunya figur yang layak dipercaya untuk menyelesaikan masalah aborsi," katanya.

Memang, tidak semua pihak sepakat dengan usul Agus. Salah satu yang menolak adalah Azrul Azwar, yang juga Ketua Harian Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Malah, tegas-tegas ia menilai usul itu tidak masuk akal untuk diterapkan. Masa, orang yang mau melakukan aborsi mesti ke dewan dulu?

Sebagai alternatifnya, sebuah tim dari rumah sakit atau klinik dinilai cukup untuk menentukan boleh-tidaknya aborsi dilakukan. Untuk memberikan konseling, psikolog bisa dilibatkan di dalamnya. Agar aborsi yang aman tidak disalahgunakan, ia sepakat, izin untuk melakukan aborsi diberikan dengan seleksi yang sangat ketat.

Azrul menyebutkan, saat ini, pihaknya tengah mengajukan usul kepada Menteri Kesehatan tentang perlunya disediakan tempat aborsi yang aman. Usul itu merupakan hasil kesepakatan dari beberapa kali pertemuan Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat dengan organisasi wanita, profesi, dan keagamaan. Azrul berharap usul itu nantinya bisa ditetapkan lewat sebuah keputusan menteri. "Alternatif ini kita ajukan karena untuk merevisi KUHP dan UU Kesehatan butuh waktu lama dan susah," katanya.



tempo.co.id

gugad1