ads by google 3

Ramai-Ramai Bedah Caesar, Salah Siapa?

Trend bedah caesar semakin menjadi-jadi, sehingga Depkes menggelar audit. Dokter yang melakukan operasi ini tanpa indikasi medis akan dikenai sanksi


KOSMARIA termasuk "penggemar" bedah caesar. Telah tiga kali wanita 34 tahun ini melahirkan anak dengan bedah caesar. Ongkos operasi, yang Rp 9 juta, tak jadi soal baginya. Padahal, istri karyawan swasta ini mengakui bahwa hanya putra pertamanya, kini 8 tahun, yang secara medis membutuhkan caesar. Kelahiran berikutnya sebenarnya bisa melalui proses alami. Tapi, "Saya enggak mau ambil risiko," katanya, saat antre periksa dokter di sebuah rumah sakit bersalin di kawasan Jakarta Pusat.

Kosmaria hanya satu contoh. Selain dia, tak sedikit ibu hamil yang lebih suka memilih bedah caesar (sectio caesaria) ketimbang proses alami. Alasannya sering tak berhubungan dengan kondisi medis, misalnya takut sakit saat melahirkan, tak mau repot, atau sekadar ingin leluasa memilih tanggal kelahiran. Kelahiran alami, yang bisa mengeratkan kaitan batin antara ibu dan anak, justru menjadi pilihan alternatif.

Profesor Ahmad Djojosugito, Dirjen Pelayanan Medis Departemen Kesehatan, membenarkan maraknya trend caesar yang dilakukan tanpa indikasi medis. Laporan tentang hal ini datang dari berbagai perwakilan Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). Secara umum, frekuensi bedah caesar terus menanjak. Bahkan, "Ada rumah sakit dengan tingkat bedah caesar sampai 60-80 persen," kata Ahmad.

Tentu saja angka tadi cukup mengejutkan. "Ini enggak masuk akal," kata Profesor Gulardi Wignjosastro, Ketua Umum POGI Pusat. Sebab, rata-rata kehamilan yang butuh caesar-misalnya karena bayi yang esktrabesar, posisi bayi sungsang, plasenta tidak sehat, atau ibu mengalami hipertensi--hanya sekitar 15 persen.

Sayangnya, sampai kini belum tersedia data memadai. Hal ini terutama karena tak ada kewajiban bagi rumah sakit dan klinik untuk melaporkan tindakan bedah caesar. Akibatnya, gambaran bedah caesar masih buram. Guna mencari kejelasan, pekan lalu Departemen Kesehatan bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menggelar audit bedah caesar. Program diawali dengan pemeriksaan rumah sakit di Jakarta, dan selanjutnya akan digelar secara nasional.

Para auditor menurut Ahmad akan mengamati catatan medis para pasien. Dengan demikian, bisa diketahui apakah caesar dilakukan berdasar indikasi medis atau tidak. Bila dokter atau rumah sakit ketahuan gemar melakukan bedah caesar tanpa alasan kuat, Departemen Kesehatan dan IDI akan menjatuhkan sanksi. "Izin dokter itu bisa dicabut," ujarnya. Ahmad menyebut langkah ini untuk melindungi pasien dari tindakan medis yang tidak dibutuhkan.

Boyke Dian Nugraha, ginekolog yang bekerja di Rumah Sakit MMC, Kuningan, Jakarta, tak keberatan dengan audit ini. Namun, Boyke juga meminta agar persoalan caesar ditinjau lebih jernih. "Jangan semata-mata memvonis dokter," katanya.

Maraknya bedah caesar tak luput dari kemajuan teknologi. Sepuluh tahun lalu, persalinan caesar masih berstatus operasi yang berisiko tinggi. Perdarahan, infeksi, dan pembiusan yang tidak sempurna berisiko membahayakan jiwa ibu ataupun bayinya. Namun, kini kemajuan teknologi kedokteran sanggup menekan berbagai kesulitan. Alhasil, caesar menjadi operasi yang relatif aman dan tak menakutkan.

Teknologi pula yang membuat pasien mudah berpaling ke bedah caesar. Misalnya, menurut pemeriksaan ultrasonografi (USG), diketahui bahwa si bayi sedikit terlilit plasenta atau ari-ari. Sebetulnya, dengan upaya ekstra, bayi dalam kondisi itu bisa lahir secara alami. Tapi, banyak pasien tak mau ambil risiko dan memaksa dokter melakukan bedah caesar. "Kalau lahir alami dan terjadi sesuatu, saya akan menuntut Anda ke pengadilan," kata Boyke, menirukan ancaman seorang pasien. Hal semacam inilah yang membuat dokter terpaksa mengabulkan permintaan pasien.

Selain itu, tuntutan caesar juga sering hanya berdasar keinginan pasien untuk memiliki vagina yang utuh tanpa tergores kepala bayi yang lahir alami. Biasanya, menurut Boyke, keinginan seperti ini muncul dari kalangan artis atau pesohor yang ingin menjaga kepuasan seksual. "Banyak pasien tetap ngotot, meskipun saya jelaskan bahwa kepuasan seksual tidak dipengaruhi kondisi vagina," tuturnya.

Nah, berdasar kenyataan tadi, Boyke, yang juga konsultan seksologi, menilai pentingnya sosialisasi persalinan yang ideal. Para dokter hendaknya memaparkan baik dan buruk kelahiran alami ataupun caesar sehingga pasien memahami segala risikonya.

Pentingnya sosialisasi juga disuarakan Ketua POGI, Profesor Gulardi. Menurut dia, harus ditekankan bahwa bedah caesar tergolong tindakan operasi. Artinya, meskipun jarang terjadi, caesar tetap mengundang risiko seperti pembentukan fistula (saluran di antara kantung kemih dan vagina), atau bahkan kematian. Jadi, "Kalau bisa normal, enggak perlu minta caesar," katanya.


tempo.co.id

gugad1