ads by google 3

Sel Tunas di Simpang Debat

Ilmuwan Amerika menciptakan pabrik janin untuk merintis revolusi pengobatan. Tapi Paus menilai penelitian massal itu sebagai pembantaian


HARAPAN dan kecemasan melingkupi Christopher Reeve. Bintang film Superman yang lumpuh akibat kecelakaan itu mendambakan lampu hijau dari Presiden Amerika Serikat George Bush, lampu yang akan membuka gerbang riset stem cell atau sel tunas dari janin manusia. Nantinya, sel tunas menjadi semacam induk yang menghasilkan ratusan sel lainnya untuk menggantikan bagian tubuh manusia yang rusak karena penyakit.

Bila penelitian sel tunas bisa sukses, tentu akan terjadi revolusi pengobatan untuk pelbagai penyakit, seperti Parkinson, Alzheimer, kanker, gagal jantung, dan juga kelumpuhan seperti yang telah enam tahun disandang Reeve. Tak aneh bila Reeve di hadapan Kongres Amerika, pekan lalu, sampai berkata, "Bila setiap orang bekerja sama, sepuluh tahun lagi saya akan terbebas dari kursi roda ini."

Sesungguhnya, sang Superman tak sendirian. Setidaknya aktor Michael J. Fox, yang menderita Parkinson, dan mantan presiden Ronald Reagan, yang terkena Alzheimer, punya harapan senada. Demikian pula jutaan penyandang penyakit serius yang sampai kini belum memperoleh obat jitu.

Agaknya, teknologi stem cell, yang berkembang sejak awal 1990-an, layak menjadi tumpuan harapan. Sel tunas, yang terdapat pada janin, sumsum tulang belakang, dan ujung usus buntu, merupakan sel induk yang bisa berubah menjadi sedikitnya 220 tipe sel penyusun tubuh. Sel tunas berkembang membentuk sistem saraf, paru-paru, jantung, darah, sampai kulit.

Potensi berubah itulah yang membuat stem cell laksana obat ajaib. Pencangkokan sel tunas menghasilkan regenerasi sel tanpa efek samping. Pada organ tubuh yang rusak dan diberi cangkokan sel tunas akan tumbuh sel-sel baru yang segar dan siap bermetabolisme.

Namun, perkembangan teknologi stem cell belum menggembirakan. Soalnya, para ilmuwan belum menemukan sumber stem cell ideal untuk dipanen besar-besaran. Sel tunas pada orang dewasa, misalnya dari sumsum tulang belakang dan usus buntu, ternyata punya kemampuan berubah yang masih terbatas.

Sumber sel tunas paling subur, tak dimungkiri, ya, dari janin manusia. Persoalannya, tentu ini amat serius, bagaimana mungkin membunuh bibit kehidupan itu sekalipun untuk kepentingan medis. Untuk itu, para ilmuwan mengupayakan janin yang mati karena aborsi dan embrio yang "terbuang" pada proses seleksi bayi tabung.

Tapi, lagi-lagi, kedua sumber sel tunas itu belum bisa memenuhi kebutuhan massal. Alhasil, muncullah terobosan kontroversial dengan membangun "pabrik" janin. Proyek itu dilakukan Susan Lanzendorf dan Gary Hodgen serta koleganya dari Jones Institute for Reproductive Medicine, di Norfolk, Virginia, Amerika.

Awalnya, tim Lanzendorf merekrut 12 perempuan sebagai donatur sel telur, dengan imbalan US$ 1.500 sampai US$ 2.000 per orang. Para donatur bersedia mengonsumi obat-obatan untuk melipatgandakan produksi sel telur mereka. Sampai awal Juli 2001, terkumpul sebanyak 162 sel telur.

Dengan teknik pembuahan in vitro seperti pada bayi tabung, sel-sel telur lantas dibuahi sel sperma yang juga diambil dari donor. Belakangan, eksperimen itu sukses "menciptakan" 50 janin yang segera dibekukan dan siap dipanen setiap saat.

Ternyata, pabrik janin Institut Jones memicu gelombang pro-kontra sedunia. Sampai-sampai Kongres Amerika membahasnya secara maraton selama beberapa pekan terakhir ini.

Kelompok pendukung proyek sel tunas menuntut agar pemerintah Amerika aktif mendanai riset tersebut. "Penelitian ini terlalu penting untuk dipasrahkan kepada ilmuwan dan lembaga riset swasta," tutur Mary Hendrix, ahli biologi dari Federation of American Societies for Experimental Biology. Kalau pemerintah bersikap pasif, tak mustahil malah terjadi penyimpangan riset sel tunas yang membahayakan kehidupan.

Boleh jadi riset stem cell sebagai proyek menjanjikan akan terus berlangsung meski tak disetujui pemerintah Amerika. Kalau itu terjadi, bisa-bisa ilmuwan Amerika rame-rame hijrah ke Eropa, yang membolehkan eksplorasi riset embrio. Buntutnya, Amerika akan kehilangan supremasi riset bergengsi.

Toh, kubu yang kontra tetap berpendapat bahwa produksi embrio untuk terapi stem cell merupakan pembunuhan makhluk hidup. Bahkan, Paus Johannes Paulus II di Roma menyerukan agar Presiden Bush menolak riset dimaksud. "Pembantaian calon manusia, meski untuk menolong manusia lainnya, adalah tindakan yang tak bisa diterima," kata Paus.

Tampaknya, Presiden Bush masih terombang-ambing di simpang pro-kontra. "Ini bukan keputusan yang mudah," ujar Bush. Tinggallah Reeve sang Superman yang harus menunggu.



tempo.co.id

gugad1