ads by google 3

Vitamin C Dosis Tinggi, antara Ya dan Tidak

Benarkah tubuh kita membutuhkan pasokan vitamin C dosis tinggi? Penelitian terakhir mengingatkan keamanan konsumsi suplemen vitamin C dosis tinggi.


VITAMIN ternyata juga bisa membuat "kecanduan". Tak percaya? Silakan simak kisah Andri. Setahun terakhir, pria 25 tahun ini menjadi pelanggan setia tablet suplemen vitamin C. Andri mengaku tak tahan berlama-lama menyetop kebiasaannya. "Setiap kali absen minum vitamin, tubuh lemas dan gusi saya penuh sariawan," kata staf pemasaran perusahaan swasta di Jakarta ini.

Yang punya pengalaman seperti itu bukan hanya Andri. Juga bukan hanya warga Indonesia. Frank Bruno dan Nigel Benn, keduanya petinju asal Inggris, misalnya, rajin menelan 150 pil vitamin (termasuk vitamin C) tiap hari untuk menunjang kemampuan mereka bertanding. Toh, gempuran vitamin tak sanggup mendongkrak karir mereka. Bruno, pada 1996, ditekuk knock out oleh petinju Mike Tyson. Sedangkan Benn kehilangan gelar juara kelas menengah super World Boxing Council (WBC) pada Maret 1996.

Kenapa orang gemar mengonsumsi vitamin C dosis tinggi? Selain vitamin ini ditelan untuk memperkuat stamina tubuh, agaknya orang merasa aman-aman saja mengonsumsinya. Andri, misalnya, tahu bahwa vitamin C yang melampaui kebutuhan tubuh akan terbuang bersama air seni. Jadi, dia yakin, kelebihan vitamin C tidak meracuni tubuhnya. "Efeknya, paling-paling, saya harus punya pos anggaran rutin untuk beli vitamin C," katanya.

Padahal, mungkin saja vitamin C dosis tinggi tidak aman bagi tubuh. Untuk soal ini memang masih muncul pro dan kontra. Perkembangan terakhir, konsumsi vitamin C megadosis tak hanya diragukan manfaatnya, tapi juga keamanannya. Tak tanggung-tanggung, vitamin C dosis tinggi dicurigai memicu kanker atau, paling tidak, menghambat proses penyembuhan penyakit kanker.

Bahwa vitamin C berguna bagi kesehatan, itu memang fakta yang tak terbantahkan. Vitamin C atau askorbat berfungsi sebagai pendukung (kofaktor) pembentukan berbagai jenis enzim yang diperlukan dalam metabolisme. Selain itu, vitamin C adalah senyawa antioksidan yang paling agresif memerangi radikal bebas. Di dalam tubuh, radikal bebas ini--yang merupakan sampah metabolisme--memicu kerusakan sel yang berujung pada beragam penyakit. Dengan dua peran itu, tak aneh bila buah dan sayur segar yang mengandung vitamin C, seperti tomat, jeruk, pepaya, dan bayam, sesuai dengan hasil ribuan riset, berguna untuk menjaga kesehatan paru-paru, jantung, ginjal, sampai kulit.

Selanjutnya, dipelopori Linus Pauling, ahli kimia AS yang mendapat Hadiah Nobel pada 1954, vitamin C dikemas dalam dosis tinggi untuk terapi berbagai penyakit, dari diabetes, katarak, stroke, sampai kanker. Popularitas vitamin C makin terang seiring dengan melimpahnya produk suplemen yang tak hanya ditujukan bagi si sakit, tapi juga untuk orang sehat.

Di sisi lain, kubu yang meragukan keampuhan vitamin C pun tidak sedikit. Tahun lalu, David Golde, ahli biologi yang juga dokter kepala di Memorial Sloan-Kettering Cancer Center, New York, misalnya, menyatakan bahwa vitamin C justru menghambat terapi kanker. Vitamin C, menurut Golde, banyak menumpuk pada sel-sel kanker pasien yang sedang menjalani pengobatan. Kok, bisa? Golde mengakui belum paham betul mekanisme biologis antara vitamin C dan sel kanker. Dugaan sementara, vitamin C melindungi sel kanker yang seharusnya dibunuh.

Golde mendapat dukungan. Dua pekan lalu, Ian Blair, ahli kanker dari Universitas Pennsylvania, AS, melontarkan pernyataan serupa. Berdasarkan uji laboratorium, yang dimuat jurnal Science, 15 Juni 2001, Blair mendapati bahwa vitamin C memacu produksi genotoksin yang merusak materi genetis asam deoksiribonukleat (DNA). Bila kondisi ini dibiarkan terjadi dalam jangka panjang, bakal muncul kanker. Namun, Blair menekankan bahwa yang dilakukannya baru sebatas tes laboratorium sehingga belum cukup kuat dasar untuk menyimpulkan vitamin C dosis tinggi berbahaya. "Ini baru dugaan yang harus dikaji lagi," kata Blair kepada ABC News.

Lepas dari perdebatan tak kunjung putus, para ahli sepakat menganjurkan agar orang mengonsumsi vitamin C dalam jumlah wajar. Di berbagai negara, batas kecukupan vitamin C bervariasi pada kisaran 70 miligram per hari yang bisa terpenuhi dari sayur dan buah segar. Jadi, sepanjang menu makanan seimbang, "Kita sebenarnya tidak membutuhkan suplemen vitamin C," kata Savitri Sayoga, ahli gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Lalu, apa yang terjadi bila kita terus gencar minum vitamin C? Pada orang yang punya kelainan ginjal, vitamin C berlebihan bisa menimbulkan endapan batu pada ginjalnya. Sedangkan pada orang sehat, dampak yang ekstrem memang belum terekam. Namun, yang pasti, batas kebutuhan vitamin C jadi melar. "Ini membuat orang merasa tergantung," kata Savitri. Yang tadinya cukup dengan 60 miligram, kemudian, butuh 500 miligram tiap hari. Saat batas tak terpenuhi, badan terasa amat lelah atau gusi penuh sariawan. Pada ibu hamil, genjotan konsumsi vitamin C juga bisa berbuntut panjang. Anak yang lahir, nantinya, juga "kecanduan" karena telah terbiasa menerima pasokan vitamin C dosis tinggi dari plasenta ibu.

Namun, jangan risau, tidak seperti narkoba, "kecanduan" vitamin C bisa dipulihkan. Syaratnya mudah saja: rajin menyantap buah dan sayur segar. "Yang alami lebih aman, murah, dan sehat," kata Savitri.



tempo.co.id

gugad1