ads by google 3

Menjinakkan 'Bom Waktu' di Otak

Seorang pasien yang empat kali terserang stroke ternyata mempunyai empat "balon" pembuluh darah di otaknya yang harus dioperasi. Operasinya ibarat menjinakkan bom.


SELAMA enam tahun terakhir, Budiman--sebut saja namanya begitu--sering mengalami siksaan yang membuatnya menjerit-jerit: sakit kepala yang luar biasa, kadang disertai muntah-muntah, dan leher terasa kaku. Tak jarang sakit itu begitu tak tertanggungkan sehingga membuat pria 48 tahun itu tergeletak pingsan. Pertama kali mendapat serangan, ia datang ke tukang urut. Gagal. Ketika kemudian datang ke rumah sakit, ia dinyatakan menderita stroke dan karena itu harus diopname di rumah sakit. Beres? Tidak juga. Sepanjang enam tahun itu, ia mengalami stroke sampai empat kali.

Awal bulan lalu, Budiman kembali didera pusing hebat. Selain itu, omongannya menjadi kacau dan ia menjadi sangat takut melihat orang banyak. Warga Subang, Jawa Barat, itu mendatangi rumah sakit di Bandung. Di sana kondisi kepalanya dilihat dengan CT-Scan. Dari pemindaian itu, dokter saraf melihat adanya subarachnoid bleeding, perdarahan di rongga subarachnoid. Itu berarti ada pembuluh darah yang pecah. Tak mau ambil risiko, akhirnya Budiman dikirim ke Rumah Sakit Siloam Gleneagles, Karawaci, Tangerang, guna menjalani angiografi--pemotretan pembuluh darah.

Ternyata ada "balon" di dalam pembuluh darah otaknya. Penggelembungan pembuluh darah itu dalam bahasa medisnya disebut aneurisma. Gawatnya lagi, di otak Budiman terdapat empat aneurisma--kejadian yang tergolong langka. Salah satunya bahkan mepet sekali letaknya dengan batang otak--tempat berkumpulnya pusat saraf pernapasan, peredaran darah, pengatur suhu, gerak motorik dan sensorik, serta sistem kesadaran manusia. Tak ada jalan lain, ia harus dioperasi. Karena "balon" itu ada di dekat batang otak, operasinya pun harus dilakukan ekstrahati-hati. "Ini memang sungguh sulit, tapi ini tantangan bagi kita," ujar Dr. Eka Julianta Wahjoepramono, spesialis bedah otak Rumah Sakit Siloam yang mengoperasi Budiman.

Sebelum operasi, Budiman diminta beristirahat total di tempat tidur (bed rest). Dia tidak diperbolehkan menggeliat-geliat, bahkan tidak boleh batuk ataupun mengejan. Untuk itu, dokter memberikan obat agar buang air besarnya lancar, obat sakit kepala, penenang, dan sebagainya. Semua itu dilakukan untuk mencegah pecahnya aneurisma.

Kamis pekan lalu, operasi bedah mikro untuk menjinakkan aneurisma di otak Budiman pun dilakukan. Selain Eka, operasi juga melibatkan Profesor Y. Suzuki, ahli bedah mikro dari Nagoya Daini Red Cross Hospital, Nagoya, Jepang. Operasi berlangsung selama delapan jam, dimulai pukul 08.00. Untuk keperluan ini, selain mikroskop bergerak yang bisa memperbesar obyek hingga 20 kali, seperangkat peralatan bedah mikro--seperti pisau bedah dan penjepit-disediakan di atas dua buah meja yang ditutup kain steril warna hijau.

Operasi itu bertujuan memasang klip pada leher aneurisma. Klip ini berguna memutus hubungan antara "balon" aneurisma dan aliran darah yang melewat pembuluh darah di situ. Dengan cara itu, pecahnya aneurisma--sebagian ahli menyebutnya sebagai "bom waktu"--bisa dicegah. Sebab, kalau pecah, selain menimbulkan rasa sakit, juga bisa membuat nyawa pasien melayang.

Operasi kali ini agaknya tergolong sulit. Empat jam pertama, setelah menelusuri belantara pembuluh darah otak, dokter baru berhasil menjepit satu aneurisma saja. "Itu belum aneurisma yang paling sulit, yakni yang letaknya berdekatan dengan batang otak," ujar Eka.

Toh, selepas asar, semua aneurisma di otak Budiman sudah bisa diklip. Luka operasi yang melintang di bagian atas kepala pasien sepanjang 20-an sentimeter pun sudah dijahit dan ditutup. Semua anggota tim bernapas lega. Hal yang sama dirasakan anggota keluarga pasien, yang dengan cermat menyaksikan operasi lewat layar monitor televisi.

Untuk keperluan operasi itu--termasuk klip titanium yang kualitasnya telah diuji badan pengawas obat dan makanan di Amerika Serikat (FDA)-- biaya yang mesti ditanggung pasien sekitar Rp 15 juta. Di samping itu, dia mesti membayar biaya opname di ruangan intensive care unit (ICU) sebesar Rp 2 juta per hari, biaya kamar rawat inap, dan sebagainya.

Sehari setelah operasi, Budiman sudah siuman dan membuka matanya. Meski tubuhnya masih banyak dilekati peralatan pengontrol denyut jantung, paru-paru, tekanan darah, dan sebagainya, ia sudah bisa diajak berkomunikasi. Jika diminta mengangkat tangan, misalnya, ia sudah bisa melakukannya. Cuma, "Dia masih sulit ngomong," ujar Dr. Yesaya Yunus, spesialis bedah yang ikut menangani operasi.

Keberhasilan itu menggenapkan kasus operasi aneurisma yang ditangani Rumah Sakit Siloam menjadi 36 kali. Operasi aneurisma memang bukan sesuatu yang baru. Namun, kasus pada Budiman ini tergolong istimewa. Sebab, biasanya pasien hanya punya satu "balon". Toh, itu pun belum tentu operasi bisa sukses. Catatan di Rumah Sakit Siloam menunjukkan, dari 36 operasi itu ada tiga pasien yang tak bisa diselamatkan.

Keberhasilan operasi memang bergantung pada beberapa faktor. Menurut Dr. Lukas Budiono Atmadji, spesialis bedah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, kesuksesan operasi antara lain dipengaruhi jenis dan letak aneurisma. Jika lokasinya gampang dicapai, ya, operasi gampang dilakukan. Tapi jika lokasinya di dalam, termasuk berdekatan dengan batang otak, "Operasi jadi lebih sulit dilakukan," ujar dokter yang pernah melakukan tujuh operasi aneurisma ini.




tempo.co.id

gugad1