ads by google 3

Risiko Cantik dengan Plasenta

UNTUK mendukung karirnya, artis penyanyi Kris Dayanti agaknya tak cukup percaya diri dengan hanya mengandalkan suaranya. Pemenang kontes ajang penyanyi internasional Asia Bagus pada 1992 ini merasa perlu berjuang ekstrakeras untuk menyempurnakan penampilannya. Serangkaian jurus seperti diet ketat, akupunktur, dan pijat tanpa lulur dilakoninya hampir tiap hari. Belakangan, artis berusia 26 tahun ini juga menjalani suntik plasenta agar kulitnya tetap cantik mulus. "Perempuan mana yang enggak mau kulitnya bagus?" katanya.

Yanti--panggilan akrab penyanyi kelahiran Malang, Jawa Timur, ini--mengisahkan pengalamannya seusai melahirkan anak kedua, tahun lalu. Bobot tubuh yang melar memaksa Yanti berdiet dengan disiplin tinggi. Memang, badan istri penyanyi Anang ini kembali langsing. Namun, akibat sampingnya, kulit Yanti menjadi kering dan kusam tak berseri.

Kebetulan, seorang teman menghadiahkan satu paket produk suntik plasenta. Yanti pun tak ragu mencoba. Seorang dokter datang ke rumah Yanti dan membantu menyuntikkan plasenta. Acara rutin ini berlangsung sampai 50 hari. Hasilnya? "Kulit jadi kencang dan kenyal. Semuanya terasa fresh," katanya. Lantaran puas dengan hasilnya, Yanti kini rajin mengulang terapi suntik plasenta tiap tiga bulan sekali.

Kisah sukses Yanti segera meluas. Tak sedikit artis yang, menurut Yanti, berminat mengikuti jurus plasenta. Di berbagai forum pertemuan, misalnya pengajian atau arisan, ibu-ibu juga membincangkan keampuhan suntik plasenta yang sudah dibuktikan Kris Dayanti.

Apakah pengguna plasenta langsung melonjak seiring dengan kisah Kris Dayanti? Memang, belum tersedia data rinci untuk memastikan hal ini. Namun, pengelola Meicy International Skin Care Center, Jakarta, mengakui bahwa produk plasenta--berupa suntikan, pil, krim, dan cairan--kini makin laris. Konsumen harus sabar menunggu sebulan untuk mendapatkan produk plasenta yang mereka pesan--yang harus didatangkan dari luar negeri. Fenomena serupa terjadi di Butik Gaudhi, Jakarta. "Konsumen paling suka plasenta yang berbentuk suntikan karena efeknya diyakini lebih cepat terasa," kata Yana, karyawan butik itu.

Wresti Indriani, dokter spesialis kulit dari Klinik Pasutri, Jakarta, juga membenarkan adanya peningkatan pengguna plasenta. Namun, statistik yang komplet sulit didapat mengingat banyak juga konsumen yang memilih plasenta bentuk cairan yang bebas dibeli di salon atau klinik kecantikan. "Cara ini tidak repot. Konsumen tak perlu berkonsultasi dengan dokter seperti halnya suntik plasenta," kata Wresti. Harga yang mahal, satu paket suntikan Rp 15 juta, pun tak menyurutkan niat konsumen berburu terapi plasenta.

Plasenta atau ari-ari, menurut Wresti, pantas sebagai pilihan untuk menjaga penampilan. Tidak seperti silikon, yang merupakan bahan kimia, plasenta murni bersumber dari bahan alami yang lebih mungkin diterima tubuh. Lagi pula, sebagai penyalur sari makanan dari ibu kepada janin, plasenta kaya beragam protein dan vitamin. Ari-ari juga mengandung antioksidan yang bisa mengusir sampah-sampah metabolisme tubuh. Selain itu, hidroksiprolin, bahan aktif dalam plasenta, berfungsi meningkatkan keluwesan sel-sel fibrin dan kolagen yang menyusun jaringan kulit. Walhasil, kulit kembali kencang, mulus, dan pori-pori mengecil. Olesan krim ekstrak plasenta tiap hari selama satu minggu, misalnya, bisa menciutkan pori-pori kulit wajah sampai 80 persen.

Sebenarnya plasenta bukan pendatang baru di dunia kosmetik. Sejak ribuan tahun silam, para tabib Cina meresepkan plasenta untuk ramuan pencegah penuaan, memperbaiki kondisi tubuh, dan meningkatkan kesuburan pria ataupun wanita.

Pada 1931, plasenta biri-biri diketahui bisa dipecah dalam ukuran yang ekstrakecil sehingga memungkinkan terserap tubuh secara efektif. Industri kosmetik pun menangkap peluang ini. Plasenta biri-biri dibekukan, diproses dengan sinar ultraviolet, dan dikemas untuk konsumsi pasar.

Selanjutnya, pada 1943, Profesor Yamato, ahli kebidanan dan kandungan dari Fakultas Kedokteran Universitas Kyoto, Jepang, berhasil mengekstrak zat aktif dalam plasenta yang disebut vita-X. Zat inilah yang bekerja secara sistemis, masuk ke dalam aliran darah, mempengaruhi seluruh metabolisme tubuh. Vita-X bertugas merangsang pertumbuhan sel muda, menggusur sel yang sudah uzur, dan meningkatkan kebugaran tubuh.

Namun, khasiat plasenta tidak datang dalam sekejap. Plasenta harus dikonsumsi agak lama untuk bisa mendatangkan manfaat optimal. Volume yang dibutuhkan bergantung pada kondisi setiap konsumen. "Ada yang cuma butuh satu, sedangkan yang lainnya butuh lebih dari satu paket," kata Wresti. Dokter ahlilah yang akan membantu konsumen menakar kebutuhan plasenta yang tepat.

Dosis yang umum digunakan, satu serial suntikan, di lengan atau di pantat, perlu waktu 10-20 hari. Bila tak mau cara suntikan, konsumen bisa memilih cairan plasenta, Rp 7,5 juta tiap paket, yang diminum sehari dua ampul selama satu bulan. Pilihan lain adalah pil plasenta, Rp 4,5 juta per paket, yang diminum empat butir tiap hari selama tiga bulan. Sedangkan bila konsumen memilih krim plasenta, harganya "hanya" Rp 1,25 juta tiap paket, dioleskan di wajah dua kali seminggu sembari facial atau cuci muka.

Memang keinginan konsumen sangat beragam. Demi mendapatkan hasil yang instan, ada pula yang memilih konsumsi plasenta dalam jumlah besar dan tempo yang singkat. Dr. Gilbert Ng, ahli kimia dari Universitas Columbia, misalnya, menggambarkan demam suntik plasenta yang melanda kalangan bintang Hollywood. Satu serial berharga US$ 20 ribu (Rp 240 juta dengan kurs Rp 12 ribu per dolar AS) terdiri atas delapan suntikan yang digeber dalam dua hari. Seusai penyuntikan yang intensif ini, pasien biasanya langsung demam dan harus beristirahat total dua hari.

Efek yang muncul memang dramatis. Sang artis tampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Kulit para bintang ini terlihat kencang dan bebas dari kerutan. Namun, manfaat ini tak bertahan lama. Beberapa bulan kemudian, tubuh dan wajah si artis akan kembali menua. Walhasil, demi menjaga penampilan, para artis harus rela bergantung pada serial penyuntikan yang terus berulang.

Apakah suntikan berulang-ulang itu tidak berbahaya? Menurut Edwin Djuanda, Wakil Direktur Medis Jakarta Skin Center, manfaat plasenta sebetulnya belum teruji dengan patokan medis yang ketat. Berdasarkan pengalaman Edwin, terapi plasenta tidak memberikan hasil yang signifikan bagi peremajaan kulit. Plasenta tak lebih dari sekadar produk suplemen makanan yang mengandung vitamin dalam konsentrasi tinggi. "Khasiatnya tidak sedahsyat yang digembar-gemborkan klinik atau salon," kata Edwin, yang juga Ketua kelompok Studi Bedah Kulit Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Indonesia (Perdoski).

Karena itu, Edwin juga merisaukan kurang ketatnya pengawasan produk-produk kosmetik. Kelonggaran seperti ini membuka kemungkinan beredarnya produk plasenta dari manusia yang mungkin tidak diproses dengan steril. Ia curiga, produk dari Cina yang harganya lebih murah--bisa sampai 60 persen dari produk-produk Barat--boleh jadi diambil dari ari-ari manusia. Produk semacam ini, katanya, berisiko menularkan bibit penyakit berbahaya seperti HIV/AIDS dan hepatitis.

Selain itu, Edwin mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya kesalahan prosedur penyuntikan pada salon-salon yang berstandar kesehatan rendah. Plasenta semestinya disuntikkan pada jaringan otot. Namun, tenaga yang tidak terlatih mungkin saja sekadar menusukkan jarum suntik di lapisan bawah kulit. Padahal, tindakan ini bisa mengundang bahaya. Plasenta atau zat asing lain yang masuk akan menggumpal, yang disebut emboli. Gumpalan ini berjalan mengikuti aliran darah sehingga akhirnya bisa memblokir aliran darah dari dan menuju organ vital seperti jantung dan paru-paru. Akibatnya, pasien berisiko meninggal dalam waktu 24 jam setelah penyuntikan.

Kasus kematian Christin Yulianti, 25 tahun, menurut Edwin, juga tak lepas dari kekeliruan penyuntikan. Akhir Maret lalu, warga Surabaya ini meninggal sehari setelah menjalani penyuntikan silikon cair di kedua payudaranya. Memang, secara medis, silikon cair berstatus berbahaya bila disuntikkan ke dalam tubuh. Namun, dampak mematikan ini terjadi perlahan-lahan dan tidak muncul dalam hitungan jam. Karena itu, "Saya menduga, ada kesalahan prosedur penyuntikan sehingga terjadi emboli," kata Edwin.

Berkaitan dengan risiko mematikan tadi, Edwin menyarankan agar konsumen lebih waspada memilih produk perawatan kulit. "Konsultasikan dengan dokter ahli secara mendalam untuk menimbang baik dan buruknya terapi perawatan," katanya. Yang pasti, Edwin menekankan, olahraga, rajin menyantap sayur dan buah segar, serta pintar mengelola stres tetap menjadi resep utama untuk sehat dan tampil prima.



tempo.co.id

gugad1